Selasa, 29 November 2011

STATUS ANAK HASIL DARI PERKAWINAN CAMPURAN



Dalam Pasal 57 UU Perkawinan yang menegaskan bahwa, ”Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegara Indonesia”.

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.

Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila dikemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warganegara asing, tetapi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, status anak dalam perkawinan campuran memperoleh hak kewarganegaraaan ganda yaitu mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, namun dalam pelaksanaanya masih ada kendala-kendala yang dihadapi si anak, permasalahan dalam penilitian ini adalah bagaimana tinjauan hukum terhadap anak-anak yang memperoleh warga negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran, hak dan kewajiban hukum yang didapat anak setelah keluarnya Undang-undang No. 12 Tahun 2006, manfaat dan kendala anak dalam memperoleh status kewarganegaraan serta prosedur tatacara pendaftaran kewarganegaraan di Departemen Kehakiman dan Hak asasi Manusia. 

Menurut UU Kewarganegaraan Baru

1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut;
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang
2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah  maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil  mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :

“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.

PELAPISAN SOSIAL dan ASPEK POSITIF dan NEGATIF DARI SISTIM PELAPISAN SOSIAL


 Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat) atau perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).
Pelapisan sosial merupakan gejala yang bersifat universal. Kapan pun dan di dalam masyarakat mana pun, pelapisan sosial selalu ada. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyebut bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatuyang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial terjadi. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelapisan sosial adalah pembedaan antar warga dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara bertingkat. Wujudnya adalah terdapat lapisan-lapisan di dalam masyarakat diantaranya ada kelas sosial tinggi, sedang dan rendah.
Pelapisan sosial merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompoknya, bila dibandingkan dengan posisi seseorang maupun kelompok lainnya. Dasar tinggi dan rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh bermacam-macam perbedaan, seperti kekayaan di bidang ekonomi, nilai-nilai sosial, serta kekuasaan dan wewenang.

1.       Dampak positif Pelapisan Sosial
Aspek lain dari pelapisan sosial ini bisa saja menjadi hal yang menguntugkan bagi sebagian orang, aspek positif ini dapat kita jumpai di berbagai tempat contohnya jika kita seorang pejabat pemerintah kita mungkin akan sedikit lebih mudah dalam urusan birokrasi, karena adanya bantuan orang dalam yang memiliki jabatan. Pelapisan sosial di pedesaan mungkin akan menimbulkan hal baik bagi para pencari modal apabila seseorang yang memilik tingkat ekonomi menengah ke atas berpendidikan tinggi juga mempunyai jabatan dapat bekerja sama dengan masyarakat ke bawah untuk saling membantu dengan mendirikan koperasi kecil-kecilan dengan modal yang sudah di danai oleh orang yang mempunyai pengaruh kuat di daerah itu.
Pelapisan sosial pastilah terjadi dimanapun kita berada, namun tergantung dari bagaimana kita menyikapi dan menjaganya agar tidak adanya kecemburuan, kesenjangan, dan diskriminasi sosial pada masyarakat dalam tingkatan apapun, entah menengah ke atas atau ke bawah, semua manusia dengan derajat yang sama, yang membedakan tinggi rendah hanyalah akhlak yang mulia.

2.       Dampak negatif Pelapisan Sosial
Aspek lain dari pelapisan sosial ini bisa saja menjadi hal yang menguntugkan bagi sebagian orang, aspek positif ini dapat kita jumpai di berbagai tempat contohnya jika kita seorang pejabat pemerintah kita mungkin akan sedikit lebih mudah dalam urusan birokrasi, karena adanya bantuan orang dalam yang memiliki jabatan. Pelapisan sosial di pedesaan mungkin akan menimbulkan hal baik bagi para pencari modal apabila seseorang yang memilik tingkat ekonomi menengah ke atas berpendidikan tinggi juga mempunyai jabatan dapat bekerja sama dengan masyarakat ke bawah untuk saling membantu dengan mendirikan koperasi kecil-kecilan dengan modal yang sudah di danai oleh orang yang mempunyai pengaruh kuat di daerah itu.
Pelapisan sosial pastilah terjadi dimanapun kita berada, namun tergantung dari bagaimana kita menyikapi dan menjaganya agar tidak adanya kecemburuan, kesenjangan, dan diskriminasi sosial pada masyarakat dalam tingkatan apapun, entah menengah ke atas atau ke bawah, semua manusia dengan derajat yang sama, yang membedakan tinggi rendah hanyalah akhlak yang mulia.



Senin, 28 November 2011

peran pemuda dalam masyarakat

 MENGANALISIS TENTANG PERAN PEMUDA DALAM MASYARAKAT


Rata-rata 50% penduduk dunia adalah dibawah umur 20 tahun (kaum muda). Di Indonesia bahkan 60% dan jumlah penduduk adalah di bawah umur 20 tahun.
Pemuda atau kepemudaan atau angkatan muda adalah sebuah entitas spirit yang maha dasyat kekuatannya. Sejarah berbagai bangsa di dunia ini telah membuktikan bahwa pergerakan kaum muda-lah yang mengawali setiap perjuangan kemerdekaan,, setiap perubahan serta setiap pembangunan arah sebuah bangsa tersebut.
Mengapa? Ya, karena pemuda-lah yang memiliki sifat Patriotik Sejati; pemilik idealisme, gelora, daya tahan, dan daya juang yang kuat ( fisik maupun mental). Generasi muda penuh semangat, mempunyai kekuatan energi penuh dengan sifat kreatif, kritis, dan dramatis serta kepekaan yang tinggi pada masalah  sosial secara umum. Demikianlah kodratnya sehingga pemuda mampu menjadi pelopor dan pemimpin.

contoh peran pemuda dalam masyarakat adalah Karang Taruna;
 Karang Taruna (KT) adalah organisasi sosial/lembaga pemberdayaan masyarakat wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh,
dan untuk masyarakat terutama generasi muda diwilayah desa/kelurahan atau komunitas sosial sederajat dan bergerak terutama dibidang usaha kesejahteraan sosial dan bidang-bidang yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan sosial.
Karang Taruna adalah organisasi non-partisan yg memiliki tugas pokok bersama-sama pemerintah dan komponen masyarakat lainnya menanggulangi permasalahan sosial khususnya dikalangan generasi muda.
Keanggotaan Karang Taruna bersifat stelsel pasif dalam arti bahwa semua generasi muda yang berusia 11-45 tahun secara otomatis menjadi Warga Karang Taruna yang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan asal keturunan, jenis kelamin, status sosial ekonomi, suku dan budaya, agama, golongan, dan pendirian politik.

KEDUDUKAN KARANG TARUNA/PEMUDA
1. Kedudukan Karang Taruna dalam Pembangunan
Adalah sebagai Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ditingkat desa/kelurahan (sejajar dengan PKK, RT, RW, LPM, dll) sesuai dengan Regulasi yang dikeluarkan oleh Negara dan secara fungsional juga merupakan organisasi sosial wadah pembinaan generasi muda yang berkedudukan di desa/kelurahan sesuai dengan Permensos RI No. 83/2005.
2. Kedudukan Karang Taruna dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Desa
Dalam pembangunan Kesejahteraan Sosial Karang Taruna terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan Pembangunan Sosial, Sistem Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial baik langsung maupun tidak.
3. Kedudukan Karang Taruna dalam Pembangunan Kepemudaan
•     Usia pemuda menurut regulasi, tinjauan psikologis, aspek historis, dan sosial  budaya adalah 21-35 tahun. Artinya Pemuda adalah bagian dari generasi muda atau Karang Taruna (11-45 tahun).
•     Kedudukan Karang Taruna di akar rumput menjadikannya sebagai organisasi pertama yang “dirasakan” oleh setiap aktivis kepemudaan, dapat pula dikatakan sebagai kawah candradimuka pertama yang dikenyam oleh setiap pemuda dilingkungan sosial terdekatnya.
•     Sebagai lembaga permberdayaan masyarakat dengan sifat keanggotaan yang terbuka Karang Taruna tidak membuat pengelompokan/ penggolongan dan tidak membangun kelas dikalangan generasi muda.
•     Sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat penyelenggara  Kesejahteraan Sosial secara luas, Karang Taruna diposisikan sebagai kelompok masyarakat fungsional yang secara khusus membantu peme-rintah dalam program-program KS dgn karakter organisasi dan program kerja yang ber-visi pada pelayanan, kerelawanan, dan pembelajaran melalui pendekatan spirit kejuangan, kepeloporan, dan kesetia-kawanan sosial untuk membentuk jiwa yang ADHITYA KARYA MAHATVA YODHA (Pejuang yang Berpengetahuan, Berkepribadian, dan Berkarya)

PERAN KARANG TARUNA/PEMUDA
Sebagai agen perubahan dan pilar utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial terutama di desa/kelurahan, Karang Taruna memiliki 2 (dua) peran pokok dan 2 (dua) peran pendukung sebagai berikut:
a. Peran Fasilitatif (Facilitative Roles)
Dari peran ini setidaknya dapat dijabarkan kembali 5 (lima) peran yakni:
1.    Animasi Sosial (Social Animation), yakni kemampuan Karang Taruna sebagai agen perubah (pemberdaya masyarakat untuk membangkitkan energi, inspirasi, antusiasme masyarakat, termasuk mengaktifkan, menstimulasi dan mengembangkan motivasi warga untuk bertindak).
2.    Mediasi dan Negosiasi (Mediation and Negotiation), yakni kemampuan Karang Taruna sebagai pemberdaya masyarakat untuk menjalankan fungsi mediasi guna menghubungkan kelompok-kelompok yang sedang berkonflik agar tercapai sinergi dalam komunitas tersebut.
3.    Membentuk Konsensus (Builiding Consensus), yakni mengembangkan setiap upaya untuk ”melawan” pendekatan konflik yang seringkali bersifat taken for granted pada beragam interaksi politik ekonomi dan sosial di masyarakat.
4.    Fasilitasi Kelompok (Group Facilitation), yakni kemampuan memfasilitasi kelompok-kelompok warga masyarakat agar mau bertindak konstruktif dan bersinergi untuk meningkatkan kesejahteraannya secara lebih utuh, bukan sekedar membangun satu atau dua kelompok saja.
5.    Mengorganisir (Organizing), yakni kemampuan untuk berpikir dan melakukan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan, hal yang tidak perlu dilakukan sendiri, dan memastikan bahwa semua mungkin diwujudkan.
b. Peran Edukasional (Educational Roles)
Dari peran ini setidaknya dapat dijabarkan kembali 4 (empat) peran yakni:
  1. Membangkitkan Kesadaran Masyarakat (Consciousness Raising), yakni peran Karang Taruna dalam membantu masyarakat untuk dapat melihat beberapa alternatif solusi serta menyadarkan masyarakat tentang struktur dan strategi perubahan sosial serta dimensi multikultural sebagai modal partisipasi dan bertindak secara efektif.
  2. Menyampaikan Informasi (Informing), yakni peran memberikan informasi yang relevan tentang suatu masalah yang sedang dihadapi atau program pembangunan yang sedang dijalankan.
  3. Mengkonfrontasi (Confronting), yakni peran yang suatu waktu dibutuhkan dalam kasus tertentu untuk mengatasi permasalahan yang ada setelah adanya pertimbangan bahwa kalau kondisi yang sekarang terjadi tetap dibiarkan maka keadaan akan dapat semakin memburuk.
  4. Pelatihan (Training), yakni peran spesifik yang secara mendasar berfokus pada pengajaran masyarakat cara untuk melakukan sesuatu.
Intinya:
Sesuai fungsinya sebagai Penyelenggara  Kesejah-teraan Sosial, Karang Taruna (terutama ditingkat kecamatan) berperan penting dalam pemberdaya-an & pengembangan masyarakatnya melalui pe-nguatan kapasitas kelembagaan KarangTaruna di tingkat desa/kelurahan, pengkaderan pemimpin pemuda ditingkat desa/kelurahan serta pendam-pingan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyara-kat ditingkat desa/kelurahan. Peran pentingnya terutama ditujukan dalam mengadvokasi kelom-pok masyarakat yang kurang beruntung. Karena-nya momentum Pembinaan Generasi Muda seperti ini harus diproyeksikan untuk lebih menguatkan Karang Taruna sebagai salah satu dimensi dan wahana pengembangan dan peningkatan kapasitas Pemuda Indonesia, karena Karang Taruna adalah komponen masyarakat akar rumput yang lebih mengetahui kondisi obyektif lingkungan masyarakatnya.